Universalisme Demokrasi
Natan Sharansky, disiden terkenal Yahudi Soviet yang dibebaskan
setelah hukuman penjara selama sembilan tahun, terkadang dianggap sebagai
inspirasi untuk kebijakan perubahan rezim neo-konsevatif. Khusus
mengenai pandangannya pada rasionalisasi neo-imperialisme terbaru dalam
mencegah terjadinya prinsip kedaulatan nasional dengan atau tanpa
intervensi bersenjata, dan tentang keefektivan aktual dalam menghasilkan
perdamaian yang stabil.
Argumen Sharansky, seperti tersebut dalam bukunya The Case for Democracy: The Power of Freedom to Overcome Tyranny and Terror (dengan Ron Dermer, Public Affairs, New York 2004) adalah berdasarkan pada keyakinan bahwa apa pun rezim atau budaya, seluruh umat manusia pada dasarnya mencintai kebebasan, dan akan memilihnya apabila diberi kesempatan, sebagaimana yang terjadi pada Eropa Timur pada 1989. Dia juga berpendapat bahwa disiden di era moral hitam putih Uni Soviet membutuhkan kekuatan batin untuk melawan kejahatan. Dalam membagi bangsa-bangsa ke dalam masyarakat yang bebas dan masyarakat yang takut (fear society), dia menggambarkan pemerintahan pada kelompok kedua sebagai merampas kebebasan, hak milik, budaya dan sejarah rakyatnya. Ketika teror internal tidak lagi ada, pemerintah semacam itu akan menciptakan lawan eksternal, baik riil atau hanya persepsi, guna memelihara dukungan populer. Dalam menghadapi ancaman eksternal, rakyat akan secara sukarela tunduk pada segala bentuk deprivasi dan ongkos yang mesti diemban: negara sebebas Amerika sekalipun telah mentoleransi perampasan hak kebebasan sipil pasca-11/9.
Argumen Sharansky, seperti tersebut dalam bukunya The Case for Democracy: The Power of Freedom to Overcome Tyranny and Terror (dengan Ron Dermer, Public Affairs, New York 2004) adalah berdasarkan pada keyakinan bahwa apa pun rezim atau budaya, seluruh umat manusia pada dasarnya mencintai kebebasan, dan akan memilihnya apabila diberi kesempatan, sebagaimana yang terjadi pada Eropa Timur pada 1989. Dia juga berpendapat bahwa disiden di era moral hitam putih Uni Soviet membutuhkan kekuatan batin untuk melawan kejahatan. Dalam membagi bangsa-bangsa ke dalam masyarakat yang bebas dan masyarakat yang takut (fear society), dia menggambarkan pemerintahan pada kelompok kedua sebagai merampas kebebasan, hak milik, budaya dan sejarah rakyatnya. Ketika teror internal tidak lagi ada, pemerintah semacam itu akan menciptakan lawan eksternal, baik riil atau hanya persepsi, guna memelihara dukungan populer. Dalam menghadapi ancaman eksternal, rakyat akan secara sukarela tunduk pada segala bentuk deprivasi dan ongkos yang mesti diemban: negara sebebas Amerika sekalipun telah mentoleransi perampasan hak kebebasan sipil pasca-11/9.
Mekanisme demokrasi menciptakan pemimpin yang bertanggung jawab yang
tidak dapat terpilih kembali apabila mereka mengadopsi kebijakan agresif
tanpa dukungan dari publik. Dengan demikian, demokrasi lebih enggan
melakukan perang sekalipun apabila kepentingan nasionalnya sendiri
memaksa melakukannya. Sharansky menyimpulkan bahwa karena sistem
demokrasi bertindak sebagai rem pada individu agresif, maka hanya
demokrasi yang dapat menjadi basis menuju perdamaian murni dalam bentuk
apa pun.
Tesisnya ini didukung oleh kajian empiris yang menunjukkan bahwa
masyarakat demokratis tidak akan berperang satu sama lain. Semuanya
tergantung pada bagaimana demokrasi itu didefinisikan, dan dengan
merasuknya demokrasi ke dalam berbagai budaya yang berbeda, banyak hal
yang perlu direkonsiliasikan.
Ada dua hal berbeda yang cukup penting antara agenda Sharansky dan
agenda yang dianut AS di Irak. Untuk “melunakkan” negara yang berpotensi
ancaman, dia mendukung sanksi dan tekanan diplomatik yang dikaitkan
dengan HAM, bukan intervensi militer langsung. Kedua, dia tidak sepakat
dengan pengadaan pemilu di negara yang baru “dibebaskan”. Sebaliknya,
dia lebih memilih periode interim selama tiga sampai empat tahun untuk
membangun institusi sipil, membangun sistem kebebasan baru. Karena
tesisnya ini berkaitan dengan masyarakat yang telah terbebas, maka teori
ini tentunya tidak berlaku untuk kasus Irak saat ini.
Berbeda dengan kalangan realis, Sharansky menekankan perlunya
moralitas dalam hubungan internasional. Akan tetapi pemahamannya atas
moralitas berbeda dengan kalangan liberal Amerika dan Eropa yang
kritiknya atas Reagan dan Bush dia anggap sebagai pembasmian moral, yang
berdasar pada kurangnya analisis atas karakter sebenarnya dari
totalitarianisme.
Kebebasan bukanlah ketakutan, tapi tatanan. Kebebasan harus dijaga
dari pembusukan kebebasan mutlak dan kekacauan. Sebagaimana tatanan dari
sikap opresif dan kejam. Akan tetapi kebutuhan sosial atas tatanan sama
validnya dengan butuhnya individual atas kebebasan.
Kondisi tak stabil dapat membuka jalan ketertiban melalui rezim
totalitarian, otoritarian, atau despot. Hal ini pada gilirannya akan
mengecewakan dan mengaktifkan kemauan untuk bebas. Oleh karena itu,
diperlukan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan dan
ketertiban, khusus untuk dunia ketiga, bagi pembangunan ekonomi.
Sharansky membuat dikotomi terlalu tajam antara demokrasi dan tirani,
karena sejumlah rezim non-demokratik ada juga yang menghormati HAM.
Bangsa Tibet pada prakemerdekaan 1949, sebagai contoh, tidak dapat
memenuhi separuh dari empat poin tes kebebasan Sharansky. Pertama,
rakyat tidak dapat berbicara terus terang apabila itu bertujuan untuk
mengeritik Dalai Lama. Kedua, mereka tidak dapat mempublikasikan
(menyiarkan) opini yg menentang. Tetapi mereka, ini yang ketiga, bebas
mengamalkan agama dan kepercayaan. Keempat, bebas mempelajari sejarah
dan budaya mereka.
Begitu juga, Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew yang dikritik
tajam karena mengekang kebebasan berpolitik, tapi berhasil gemilang
dalam mengantar penduduk negara-kota itu menjadi terdidik, terintegrasi,
makmur dan tenang.
Memang, humanisme modern dengan fondasi HAM mendapat tempat ekspresi
terbaiknya pada sistem demokrasi. Akan tetapi paradigma HAM seperti yang
terdapat dalam Universal Declaration itu sendiri agak kontroversial
mengingat konsepsi dasarnya diambil dari nilai-nilai Yudeo-Kristen, yang
dipandang oleh sebagian kalangan sebagai berbau kental nuansa kultur
dan sosial barat dan karena itu bukan murni bernilai universal. Kehendak
untuk tidak ditindas dan dikekang, keinginan untuk “bebas dari” rasa
takut, jelas bernilai universal. Tetapi kebebasan dalam sistem demokrasi
termasuk di dalamnya “bebas untuk” tak jarang bertentangan dengan
budaya lokal, dan dapat dianggap sebagai ancaman pada kultur dan tatanan
sosial yang ada.
Dengan demikian, proyek demokratisasi tampaknya menjadi tantangan
pada esensi pluralisme umat manusia, kecuali apabila dibuat pemisahan
jelas antara politik dan kultur, yang cukup problematik. Dalam dunia
kontemporer, demokrasi sedang mendapat tempat sebagai bentuk
pemerintahan ideal. Apabila ia terbukti fleksibel untuk beradaptasi, dan
kultur setempat dapat menerima separonya saja, maksa aplikasinya dapat
terus meningkat.
Apabila lebih banyak lagi negara yang terdemokratisasi tanpa serangan
pada kedaulatan mereka, tidak seperti dalam kasus Irak, maka skenario
terciptanya kesepakatan internasional semakin dimungkinkan. Ini bukan
jaminan 100 persen menuju perdamaian, tetapi jelas dapat mengurangi
potensi konflik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar