Senin, 11 Juni 2012

Poluneg Kerry Tak Beda dengan Bush (Opini)

Poluneg Kerry Tak Beda dengan Bush


Saya akan siap siaga untuk mengirim pasukan dalam waktu singkat.” Itulah John F Kerry, kandidat presiden Amerika dari Partai Demokrat. Apa yang terjadi? Bukankah Demokrat semestinya mengakhiri kebijakan intervensionis pemerintahan Bush? Debat antara pemerintahan Bush yang unilateralis dan capres Kerry yang multilateralis bukanlah tentang apakah AS akan melakukan intervensi atau tidak. Tapi tentang kapan, di mana, dan bagaimana menggunakan kekuatan militer.

Senator John Kerry akan mengecewakan banyak orang di Amerika Serikat (AS) dan dunia yang berharap bahwa Partai Demokrat akan menawarkan platform politik luar negeri (poluneg) yang sama sekali berbeda dari “partai perang”-nya George W Bush. Tidak diragukan lagi bahwa kampanye Senator Kerry akan menawarkan kritik tajam atas kebijakan luar negeri Bush yang menjadi begitu kontroversial di dalam dan luar negeri. Dalam demokrasi, pemilu jarang dimenangkan atau dikalahkan oleh isu-isu kebijakan luar negeri. Tetapi “berkat” tragedi 11 September dan pendudukan Amerika di Irak, isu keamanan nasional akan menjadi agenda utama pemilu 2004 di AS.

Dalam menekankan imej tragedi 11 September, Bush menghadirkan dirinya sebagai seorang “Presiden masa perang” yang sukses, dengan menawarkan slogan penanganan yang mantap di masa sulit. Pada gilirannya, Kerry akan memamerkan rekornya sendiri sebagai seorang veteran perang Vietnam dan 19 tahun masa baktinya di Senate Foreign Relations Committee untuk menunjukkan bahwa ia memiliki pengalaman yang diperlukan guna menangani berbagai ancaman baru pada AS. Kerry menegaskan bahwa ia akan melakukan kebijakan “kolektif” dan “internasionalisasi” bukan pendekatan “imperialis” seperti yang dilakukan pemerintahan Bush.

Dalam segi visi dasar, kalangan Republik bertaruh bahwa 11 September telah mengubah Amerika secara signifikan. Sementara kalangan Demokrat berharap bahwa terdapat peluang yang cukup untuk menyerang Bush atas kegagalannya dalam perang melawan terorisme dan menyesatkan Amerika ke dalam jurang pendudukan Irak yang mahal. Dengan berhasilnya menyingkirkan lawan-lawannya di Partai Demokrat, Kerry telah menciptakan ruang dan waktu untuk dirinya sendiri guna terlibat dalam debat panjang dengan Bush dalam segala isu kebijakan.

Debat poluneg Amerika banyak menarik minat internasional dalam segi, apakah transformasi tak populer yang direkayasa Bush dalam pendekatan AS pada dunia hanyalah masa transisi evolusi politik pasca-Perang Dingin Amerika atau merefleksikan tendensi yang akan bertahan lama. Efek polarisasi pemerintahan Bush dalam percaturan domestik juga memberikan keuntungan yang langka pada debat politik dalam pemilu kali ini, yang tidak lagi dilihat sebagai “hadiah” bagi presiden yang berkuasa. Beberapa angket mulai menunjukkan sedikit keunggulan buat Kerry.

Intervensi

Kalangan Republik berpendapat bahwa adalah kurang bijaksana mengirim pasukan AS ke setiap pojok dunia. Mereka mengkritik tendensi pemerintahan Demokrat di bawah Bill Clinton (1993-2001) yang menyebarkan SDM militer Amerika terlalu kecil tanpa mencapai tujuan politik apa pun. Mereka berpendapat bahwa AS harus intervensi hanya ketika melibatkan kepentingan keamanan nasional utama dan bukan untuk mempertahankan agenda mempromosikan demokrasi.

Agar efektif, kalangan Republik mengatakan, intervensi Amerika harus menggunakan kekuatan besar. Kendati sekelompok Republik semacam neokonservatif sering menuntut kebijakan intervensionis luas, akan tetapi kalangan internasionalis utama tetap berhati-hati dalam mempertimbangkan dan memutuskan penggunaan kekuatan militer terutama apabila berisiko tinggi.

Bentuk intervensi juga menjadi bagian yang kritikal dalam perdebatan. Bagi Kerry, sangat penting beraliansi untuk setiap intervensi. Ia ingin intervensi Amerika terjadi dalam kerangka hukum internasional dan PBB. Kerry percaya bahwa tidak ada bangsa, bagaimanapun kuatnya, yang dapat berbuat sesuatu sendirian. Ia mengkritik Bush yang mengalienasi kawan dan aliansi AS di seluruh dunia dan mengangkangi PBB.

Akan tetapi Kerry cukup berhati-hati dengan tidak menolak kemungkinan intervensi unilateral.

Bagaimanapun Clinton pernah bertindak di luar kerangka PBB di Kosovo pada akhir 1990-an. Argumen Kerry adalah bahwa intervensi harus dilakukan dalam sebuah kerangka untuk memperkuat pengaruh AS. Poluneg Bush yang “arogan, tak layak, kejam dan ideologis”, demikian Kerry, telah mengakibatkan AS kehilangan mitra internasional penting, mengalihkan perhatian dari perburuan Al Qaedah, dan membuat preseden buruk bagi yang lain untuk bertindak serupa.

Tentang Irak, Kerry tampak lebih keras dari Bush ketika ia menuduh presiden melakukan taktik hit and run guna mengurangi peran AS karena tekanan pemilu pada bulan November. “Sikap Bush ini akan menjadi bencana dan mengkhianati prinsip,” kata Kerry. Ketika ditanya tentang jalan keluar dari Irak, Kerry menjawab “Strategi keluar saya (dari Irak) adalah sukses.” Kunci untuk stabilisasi Irak, menurut Kerry, terletak pada PBB dan NATO, pandangan yang akhir-akhir ini disepakati juga oleh Bush.

Tentang terorisme dan senjata pemusnah massal (weapons of mass destruction – WMD), Bush dan Kerry sepakat bahwa kedua hal itu merupakan ancaman terbesar pada keamanan Amerika. Tetapi tindakan yang mereka lakukan berbeda. Kalangan Republik menekankan pertahanan rudal, serangan pre-emptive dan perubahan rejim. Sedang kalangan Demokrat akan memperkuat hukum internasional, universalisasi Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT), multilateralisme dan diplomasi. Kerry mengatakan ia akan menolak doktrin pre-emption (serang lebih dulu) Bush dan penggunaan kekuatan hanya sebagai solusi terakhir.

Tanpa menolak pentingnya kekuatan militer dalam kontraterorisme, Kerry menggarisbawahi pentingnya penggunaan “kekuatan lembut” (soft power) Amerika. Ia menyatakan bahwa slogan “triumphalism”-nya Bush telah membakar opini Muslim seluruh dunia dan menyulut api kalangan militan. Kerry akan menekankan pentingnya mengkaji akar penyebab terorisme dan diplomasi publik di Timur Tengah guna mempromosikan nilai-nilai modernisme. “Kemenangan final dalam perang antiteror tergantung pada kemenangan dalam perang ide, yang jauh lebih penting dari perang di medan tempur,” ujar Kerry.

Kerry tampak menampung kritik luas yang ditujukan pada pemerintahan Bush baik dari seluruh dunia maupun dari dalam negeri. Ia menekankan kepemimpinan Amerika melalui konsultasi dengan para aliansi, bukan untuk mendominasi dunia. Akan tetapi, ia cukup rentan pada kritik yang menyatakan bahwa ia sering plin-plan dan tidak punya keyakinan diri atas berbagai isu. Para kritikus dari partai Republik menunjuk dukungan Kerry pada perang Irak dan mengkontradiksi dengan kritiknya sekarang. Akan tetapi itulah resiko yang akan menimpa pemimpin manapun yang terlibat dalam spektrum politik pusat.

Kerry, dari apa yang dia katakan selama ini, tidak lebih intervensionisnya dibanding Bush. Trik yang harus dia lakukan dalam kampanye adalah menyerang presiden Bush atas kegagalannya dan membedakan dirinya dari slogan pemerintahan Bush. Akan tetapi pada waktu yang sama ia tidak ingin dilihat melangkah terlalu jauh dari visi utama diskursus poluneg Amerika. Wacana tersebut, baik sayap kiri atau kanan, semakin berubah mendukung penggunaan kekuatan militer Amerika, dengan kerangka PBB apabila menguntungkan dan tanpa PBB apabila dianggap perlu.

 

Perspektif Filosofis Islam Politik (Opini)

Perspektif Filosofis Islam Politik
Banyak kalangan non-muslim (individual dan institusi) yang menilai
bahwa tidak terdapat konflik antara Islam dan demokrasi dan mereka
ingin melihat dunia Islam dapat membawa perubahan dan transformasi
menuju demokrasi.

Robin Wright, pakar Timur Tengah dan dunia Islam yang cukup terkenal
menulis di Journal of Democracy (1996) bahwa Islam dan budaya Islam
bukanlah penghalang bagi terjadinya modernitas politik.

Peraih Nobel Gunnar Myrdal dalam karya magnum opus-nya Asian Drama
mengidentifikasi seperangkat modernisasi ideal termasuk di dalamnya
demokrasi. Berkenaan dengan agama secara umum dan Islam khususnya,
dia mengatakan: Doktrin dasar dari agama-agama Hindu, Islam dan Budha
tidaklah bertentangan dengan modernisasi. Sebagai contoh, doktrin
Islam, dan relatif kurang eksplisit doktrin Budha, cukup maju untuk
mendukung reformasi sejajar dengan idealisme modernisasi. Apabila
demokrasi identik dengan egalitarianisme, maka Islam dan Budha dapat
memberikan dukungan bagi salah satu idealisme modernisasi khususnya
reformasi egalitarian.

John O Voll dan John L Esposito, dua pakar yang menjembatani Barat
dan Timur tidak sepakat atas pandangan bahwa Islam dan demokrasi
tidak dapat ketemu. Menurut kedua pakar ini dalam khazanah Islam
terkandung konsep yang memberikan fondasi bagi muslim kontemporer
untuk mengembangkan program demokrasi Islam yang otentik.
Dalam menjelaskan sejumlah miskonsepsi umum di Barat, Graham E Fuller
(mantan Wakil Direktur National Intelligence Council di CIA) menulis
di jurnal Foreign Affairs (April, 2002): “Kebanyakan peneliti Barat
cenderung untuk melihat fenomena Islam politik seakan-akan ia sebuah
kupu-kupu dalam kotak koleksi, ditangkap dan disimpan selamanya, atau
seperti seperangkat teks baku yang mengatur sebuah jalan tunggal.
Inilah mengapa sejumlah sarjana yang mengkaji literatur Islam utama
mengklaim bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi. Seakan-akan
ada agama lain yang secara literal membahas demokrasi”.

Banyak kalangan sarjana Islam yang kembali mengkaji akar dan khazanah
Islam dan secara meyakinkan berkesimpulan bahwa Islam dan demokrasi
tidak hanya kompatibel; sebaliknya, asosiasi keduanya tak
terhindarkan, karena sistem politik Islam adalah berdasarkan pada
Syura (musyawarah). Khaled Abou el-Fadl, Ziauddin Sardar, Rachid
Ghannoushi, Hasan Turabi, Khurshid Ahmad, Fathi Osman dan Shaikh
Yusuf Qardawi serta sejumlah intelektual dan sarjana Islam lain yang
bersusah payah berusaha mencari titik temu antara dunia Islam dan
Barat menuju saling pengertian yang lebih baik berkenaan dengan
hubungan antara Islam dan demokrasi. Karena, kebanyakan diskursus
yang ada tampak terlalu tergantung dan terpancang pada label yang
dipakai secara stereotipe oleh sejumlah kalangan.

Menurut Merriam, Webster Dictionary, demokrasi dapat didefinisikan
sebagai “pemerintahan oleh rakyat; khususnya, oleh mayoritas;
pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi tetap pada rakyat dan
dilakukan oleh mereka baik langsung atau tidak langsung melalui
sebuah sistem perwakilan yang biasanya dilakukan dengan cara
mengadakan pemilu bebas yang diadakan secara periodik; rakyat umum
khususnya untuk mengangkat sumber otoritas politik; tiadanya
distingsi kelas atau privelese berdasarkan keturunan atau kesewenang-
wenangan.

Realitasnya adalah bahwa Islam tidak hanya kompatibel dengan aspek-
aspek definisi atau gambaran demokrasi di atas, tetapi yang lebih
penting lagi, aspek-aspek tersebut sangat esensial bagi Islam.
Apabila kita dapat melepaskan diri dari ikatan label dan semantik,
maka akan kita dapatkan bahwa pemerintahan Islam, apabila disaring
dari semua aspek yang korelatif, memiliki setidaknya tiga unsur
pokok, yang berdasarkan pada petunjuk dan visi Alquran di satu sisi
dan preseden Nabi dan empat Khalifah sesudahnya (Khulafa al-Rasyidin)
di sisi lain.

Pertama, konstitusional. Pemerintahan Islam esensinya merupakan
sebuah pemerintahan yang `’konstitusional”, di mana konstitusi
mewakili kesepakatan rakyat (the governed) untuk diatur oleh sebuah
kerangka hak dan kewajiban yang ditentukan dan disepakati. Bagi
Muslim, sumber konstitusi adalah Alquran, Sunnah, dan lain-lain yang
dianggap relevan, efektif dan tidak bertentangan dengan Islam. Tidak
ada otoritas, kecuali rakyat, yang memiliki hak untuk membuang atau
mengubah konstitusi. Dengan demikian, pemerintahan Islam tidak dapat
berbentuk pemerintahan otokratik, monarki atau militer. Sistem
pemerintahan semacam itu adalah pada dasarnya egalitarian, dan
egalitarianisme merupakan salah satu ciri tipikal Islam. Secara luas
diakui bahwa awal pemerintahan Islam di Madinah adalah berdasarkan
kerangka fondasi konstitusional dan pluralistik yang juga melibatkan
non-muslim.

Kedua, partisipatoris. Sistem politik Islam adalah partisipatoris.
Dari pembentukan struktur pemerintahan institusional sampai tahap
implementasinya, sistem ini bersifat partisipatoris. Ini berarti
bahwa kepemimpinan dan kebijakan akan dilakukan dengan basis
partisipasi rakyat secara penuh melalui proses pemilihan populer.
Umat Islam dapat memanfaatkan kreativitas mereka dengan berdasarkan
petunjuk Islam dan preseden sebelumnya untuk melembagakan dan
memperbaiki proses-proses itu. Aspek partisipatoris ini disebut
proses Syura dalam Islam.

Ketiga, akuntabilitas. Poin ini menjadi akibat wajar esensial bagi
sistem konstitusional/partisipatoris. Kepemimpinan dan pemegang
otoritas bertanggung jawab pada rakyat dalam kerangka Islam. Kerangka
Islam di sini bermakna bahwa semua umat Islam secara teologis
bertanggung jawab pada Allah dan wahyu-Nya. Sementara dalam tataran
praksis akuntabilitas berkaitan dengan rakyat. Oleh karena itu,
khalifah sebagai kepala negara bertanggung jawab pada dan berfungsi
sebagai Khalifah al-Rasul (representatif rasul) dan Khalifah al-
Muslimin (representatif umat Islam) sekaligus.

Poin ini memerlukan kajian lebih lanjut karena adanya mispersepsi
tentang kedaulatan (sovereignty): bahwa kedaulatan Islam adalah milik
Tuhan (teokrasi) sedangkan kedaulatan dalam demokrasi adalah milik
rakyat. Anggapan atau interpretasi ini jelas naif dan salah. Memang,
Tuhan merupakan kedaulatan tertinggi atas kebenaran, tetapi Dia telah
memberikan kebebasan dan tanggung jawab pada umat manusia di dunia.
Tuhan memutuskan untuk tidak berfungsi sebagai Yang Berdaulat di
dunia. Dia telah menganugerahi manusia dengan wahyu dan petunjuk
esensial. Umat Islam diharapkan untuk membentuk diri dan berperilaku,
secara individual dan kolektif, menurut petunjuk itu. Sekalipun
esensinya petunjuk ini berdasarkan pada wahyu, tetapi interpretasi
dan implementasinya adalah profan.

Apakah akan memilih jalan ke surga atau neraka adalah murni keputusan
manusia. Apakah akan memilih Islam atau keyakinan lain juga keputusan
manusiawi. Apakah akan memilih untuk mengorganisir kehidupan kita
berdasarkan pada Islam atau tidak juga terserah kita. Begitu juga,
apakah umat Islam hendak memilih bentuk pemerintahan Islam atau
sekuler. Tidak ada paksaan dalam agama.

Apabila terjadi konflik antara masyarakat dan pemimpin, seperti
mayoritas masyarakat tidak menginginkan sistem Islam, maka kalangan
pimpinan tidak dapat memaksakan sesuatu yang tidak dikehendaki oleh
masyarakat. Tidak ada paksaan atau tekanan dalam Islam. Karena
tekanan dan paksaan tidak akan menghasilkan hasil yang diinginkan dan
fondasi Islam tidak dapat didasarkan pada paksaan atau tekanan.
Pada karakter fundamental yang didasarkan pada poin-poin di atas,
tidak ada konflik antara demokrasi dan sistem politik Islam, kecuali
bahwa dalam sistem politik Islam orang tidak dapat mengklaim dirinya
Islami apabila tindak tanduknya bertentangan dengan Islam. Itulah
mengapa umat Islam hendaknya tidak menganggap demokrasi dalam artian
umum bertentangan dengan Islam; sebaliknya, umat harus menyambut
sistem demokrasi. Seperti yang dikatakan oleh Dr Fathi Osman, salah
satu intelektual muslim kontemporer terkemuka, `’demokrasi merupakan
aplikasi terbaik dari Syura”.

Bin Ladin, Israel dan Terorisme (Opini)

Bin Ladin, Israel dan Terorisme


Seandainya sebuah survei interim dilakukan tentang kondisi dunia, akankah ia menunjukkan bahwa dunia menjadi lebih aman setelah tragedi 11/9? Jawabannya mungkin dapat ditemukan dalam beberapa baris kata dari Thomas Hardy ini: “Beberapa aspek berada dalam diri kita, dan siapa yang tampak seperti raja dialah Sang Raja”.

Jawabannya juga akan tergantung pada siapa yang menjadi pemburu dan siapa yang jadi buruan. Perang melawan teror sudah menang, begitu kita diberitahu. Pada waktu yang sama jangkauan Alqaidah semakin jauh dan Eropa merasa terancam. Para menteri luar negeri NATO pun sepakat untuk mengambil langkah tegas guna memperkuat pertempurannya melawan terorisme. Dalam sebuah statemen yang dimaksudkan untuk mengungkapkan kesatuan dan membulatkan tekad dalam mengambil langkah-langkah penting guna “memberikan dimensi transatlantik esensial sebagai respons pada terorisme,” yang dalam menghadapinya tampak dibayangi ketakutan dan horor.
Sebuah komisi sudah dibentuk di Amerika Serikat (AS) yang sedang menyelidiki serangan 11/9 dan apakah berbagai langkah dapat diambil untuk menghalangi tragedi itu terjadi. Tahun ini merupakan tahun pemilu di AS dan kesaksian berbagai pejabat terkait telah menjadi permainan yang saling memojokkan antara mereka yang berkuasa pada masa Clinton dan mereka yang sedang berkuasa saat ini.

Pertama, yang paling menggemparkan adalah tuduhan Richard Clarke yang menjadi pejabat ahli anti-terorisme Gedung Putih dan menulis buku berjudul Against All Enemies. Buku ini secara luas berseberangan dengan segala statemen yang pernah diucapkan pemerintahan Bush, sebuah tuduhan paling serius yang dilakukan orang dalam sendiri bahwa strategi kontraterorisme telah dipetieskan oleh pemerintahan Bush agar supaya dapat menginvasi Irak. Secara gamblang dia menyatakan bahwa perang Irak telah lama direncanakan.

Semua tuduhan itu tampak kurang relevan. Penyelidikan pasca-kejadian mungkin berguna bagi ilmu medis tetapi tak akan banyak gunanya bagi korp. Tidak ada seorang pun yang merasa heran lagi apa yang terjadi dengan WMD (Weapons of Mass Destruction senjata pemusnah massal). WMD tidak pernah ditemukan. Para antropolog yang mengadakan penggalian di Irak mungkin akan menemukannya seratus tahun lagi tetapi mereka akan memberikan semacam “rasa puas” yang dibutuhkan oleh kalangan yang haus perang.

Pada saat peristiwa Pearl Harbour, Franklin Delano Roosevelt berpidato di depan rakyat AS menyatakan bahwa “tidak ada yang kita takutkan kecuali rasa takut itu sendiri.” Sekarang rasa takut itu digunakan untuk menggiring rakyat dan para pejabat AS yang haus perang dapat mengatakan bahwa mereka tidak hanya memiliki keperkasaan militer tetapi juga ketakutan dalam waktu yang sama.

Richard Clarke memberikan pengakuan dengan nada permintaan maaf, yang lebih mirip dengan doa pertobatan: “Pemerintah telah mengecewakan kalian. Mereka yang dipercaya untuk melindungi kalian telah mengecewakan kalian. Dan saya sendiri telah mengecewakan kalian,” ujarnya. Tidak ada pengakuan semacam itu keluar dari Bush dan Blair, apalagi rasa bersalah yang mendalam. Mereka terus bergerak maju dari senjata pemusnah massal ke perubahan rezim ke demokrasi.

Irak telah ditentramkan dan dimerdekakan. Beberapa waktu lalu terjadi pembunuhan mengerikan atas empat pengawal pribadi kontraktor AS oleh massa yang marah di Fallujah. Rekaman video pembunuhan dan penyiksaan atas tubuh-tubuh mereka itu dianggap terlalu mengerikan untuk dipertontonkan di televisi. Ini bukanlah kemarahan biasa, ini murni timbul dari rasa benci yang berasal dari dalam rasa putus-asa, dan kekecewaan. Apa yang sebenarnya terjadi?

Seorang juru bicara militer AS hanya bisa mengatakan bahwa segalanya akan tampak buruk sebelum menjadi lebih baik. Terdengar sebuah gaung dari Vietnam. Di sana juga dulu dikatakan bahwa semuanya akan berjalan dengan baik. Kita diberitahu bahwa membandingkan Irak dengan Vietnam adalah analogi palsu dan tidak pas. Pernahkan ada perang yang berakhir dengan happy ending? Perang Dunia I menciptakan Hitler, Perang Dunia II memproduksi Perang Dingin dan runtuhnya Uni Soviet dengan bantuan Usamah bin Ladin dan kalangan Mujahidinnya menciptakan Alqaidah.

George Crile dalam bukunya My Enemy’s Enemy menuturkan kisah operasi rahasia terbesar sepanjang sejarah. CIA mempersenjatai kelompok Mujahidin. Dan tak lama kemudian keanehan pun terjadi: Mujahidin yang sama berubah menjadi militan dan diburu di seluruh dunia sebagai kelompok teroris. Mengapa komisi 11/9 tidak menginvestigasi bagaimana dan mengapa semua itu bisa terjadi? Siapa yang mengubah Usamah bin Ladin dari seorang kawan menjadi lawan abadi?

Hal yang sebaliknya terjadi dalam kasus Kolonel Khaddafi. Ronald Reagan menjulukinya sebagai seekor “anjing gila.” Pesawat pengebom AS tinggal landas dari pangkalan yang diberikan oleh Margaret Thatcher Inggris dan mengebom rumah Khaddafi untuk membunuhnya. Dia selamat akan tetapi tidak demikian dengan putrinya.

Khaddafi bagaikan seorang pendosa yang telah melihat cahaya dan dia telah menyerahkan proyek WMD-nya, saat ini tidak ada lagi bekas-bekas WMD yang ditemukan, dan dia pun mendapat anugerah kunjungan resmi dari Tony Blair sendiri. Khaddafi telah mengecam terorisme dan saat ini mendapat rapor baik dari coalition of the willing serta menjadi anggota terhormat dalam perang melawan terorisme. Mengapa tekanan dan diplomasi yang sama tidak digunakan pada Saddam Hussein?

Langkah mundur kontraterorisme Perang melawan teror telah mengalami kemunduran sangat besar yang disebabkan oleh veto AS atas resolusi DK PBB yang mengecam pembunuhan terencana atas Syekh Ahmed Yassin, pendiri Hamas. Ariel Sharon yang merasa mendapat dukungan saat ini telah melirik Yasser Arafat sebagai target besar berikutnya. Adakah perang melawan teror hanyalah alasan belaka untuk memuluskan ambisi Israel?

Ariel Sharon menjadi kendala utama perdamaian di Timur Tengah dan apabila dia terus dimanja AS, maka prospek perdamaian di kawasan ini hanyalah ilusi belaka. Hanya AS yang dapat membuat Israel untuk berpikir waras. Kalangan kawan dekat Amerika, termasuk Tony Blair, hendaknya dapat meyakinkan AS bahwa perlindungannya yang membuta atas Israel merupakan ancaman yang sama berbahayanya dengan Alqaidah.

Teroris tidak akan musnah. Lawan akan semakin kuat dan dunia tidak akan bertambah aman. Setiap kali tank-tank Israel bergerak, teroris- teroris baru akan lahir. Kita tidak perlu menjadi ahli strategi untuk mengetahui hal semacam ini. Masalahnya kapan AS akan berhenti bersikap berpura-pura tidak tahu?

Universal Demokrasi (opini)

Universalisme Demokrasi


Natan Sharansky, disiden terkenal Yahudi Soviet yang dibebaskan setelah hukuman penjara selama sembilan tahun, terkadang dianggap sebagai inspirasi untuk kebijakan perubahan rezim neo-konsevatif. Khusus mengenai pandangannya pada rasionalisasi neo-imperialisme terbaru dalam mencegah terjadinya prinsip kedaulatan nasional dengan atau tanpa intervensi bersenjata, dan tentang keefektivan aktual dalam menghasilkan perdamaian yang stabil.

Argumen Sharansky, seperti tersebut dalam bukunya The Case for Democracy: The Power of Freedom to Overcome Tyranny and Terror (dengan Ron Dermer, Public Affairs, New York 2004) adalah berdasarkan pada keyakinan bahwa apa pun rezim atau budaya, seluruh umat manusia pada dasarnya mencintai kebebasan, dan akan memilihnya apabila diberi kesempatan, sebagaimana yang terjadi pada Eropa Timur pada 1989. Dia juga berpendapat bahwa disiden di era moral hitam putih Uni Soviet membutuhkan kekuatan batin untuk melawan kejahatan.
Dalam membagi bangsa-bangsa ke dalam masyarakat yang bebas dan masyarakat yang takut (fear society), dia menggambarkan pemerintahan pada kelompok kedua sebagai merampas kebebasan, hak milik, budaya dan sejarah rakyatnya. Ketika teror internal tidak lagi ada, pemerintah semacam itu akan menciptakan lawan eksternal, baik riil atau hanya persepsi, guna memelihara dukungan populer. Dalam menghadapi ancaman eksternal, rakyat akan secara sukarela tunduk pada segala bentuk deprivasi dan ongkos yang mesti diemban: negara sebebas Amerika sekalipun telah mentoleransi perampasan hak kebebasan sipil pasca-11/9.

Mekanisme demokrasi menciptakan pemimpin yang bertanggung jawab yang tidak dapat terpilih kembali apabila mereka mengadopsi kebijakan agresif tanpa dukungan dari publik. Dengan demikian, demokrasi lebih enggan melakukan perang sekalipun apabila kepentingan nasionalnya sendiri memaksa melakukannya. Sharansky menyimpulkan bahwa karena sistem demokrasi bertindak sebagai rem pada individu agresif, maka hanya demokrasi yang dapat menjadi basis menuju perdamaian murni dalam bentuk apa pun.
Tesisnya ini didukung oleh kajian empiris yang menunjukkan bahwa masyarakat demokratis tidak akan berperang satu sama lain. Semuanya tergantung pada bagaimana demokrasi itu didefinisikan, dan dengan merasuknya demokrasi ke dalam berbagai budaya yang berbeda, banyak hal yang perlu direkonsiliasikan.
Ada dua hal berbeda yang cukup penting antara agenda Sharansky dan agenda yang dianut AS di Irak. Untuk “melunakkan” negara yang berpotensi ancaman, dia mendukung sanksi dan tekanan diplomatik yang dikaitkan dengan HAM, bukan intervensi militer langsung. Kedua, dia tidak sepakat dengan pengadaan pemilu di negara yang baru “dibebaskan”. Sebaliknya, dia lebih memilih periode interim selama tiga sampai empat tahun untuk membangun institusi sipil, membangun sistem kebebasan baru. Karena tesisnya ini berkaitan dengan masyarakat yang telah terbebas, maka teori ini tentunya tidak berlaku untuk kasus Irak saat ini.

Berbeda dengan kalangan realis, Sharansky menekankan perlunya moralitas dalam hubungan internasional. Akan tetapi pemahamannya atas moralitas berbeda dengan kalangan liberal Amerika dan Eropa yang kritiknya atas Reagan dan Bush dia anggap sebagai pembasmian moral, yang berdasar pada kurangnya analisis atas karakter sebenarnya dari totalitarianisme.

Kebebasan bukanlah ketakutan, tapi tatanan. Kebebasan harus dijaga dari pembusukan kebebasan mutlak dan kekacauan. Sebagaimana tatanan dari sikap opresif dan kejam. Akan tetapi kebutuhan sosial atas tatanan sama validnya dengan butuhnya individual atas kebebasan.

Kondisi tak stabil dapat membuka jalan ketertiban melalui rezim totalitarian, otoritarian, atau despot. Hal ini pada gilirannya akan mengecewakan dan mengaktifkan kemauan untuk bebas. Oleh karena itu, diperlukan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan dan ketertiban, khusus untuk dunia ketiga, bagi pembangunan ekonomi.

Sharansky membuat dikotomi terlalu tajam antara demokrasi dan tirani, karena sejumlah rezim non-demokratik ada juga yang menghormati HAM.

Bangsa Tibet pada prakemerdekaan 1949, sebagai contoh, tidak dapat memenuhi separuh dari empat poin tes kebebasan Sharansky. Pertama, rakyat tidak dapat berbicara terus terang apabila itu bertujuan untuk mengeritik Dalai Lama. Kedua, mereka tidak dapat mempublikasikan (menyiarkan) opini yg menentang. Tetapi mereka, ini yang ketiga, bebas mengamalkan agama dan kepercayaan. Keempat, bebas mempelajari sejarah dan budaya mereka.

Begitu juga, Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew yang dikritik tajam karena mengekang kebebasan berpolitik, tapi berhasil gemilang dalam mengantar penduduk negara-kota itu menjadi terdidik, terintegrasi, makmur dan tenang.

Memang, humanisme modern dengan fondasi HAM mendapat tempat ekspresi terbaiknya pada sistem demokrasi. Akan tetapi paradigma HAM seperti yang terdapat dalam Universal Declaration itu sendiri agak kontroversial mengingat konsepsi dasarnya diambil dari nilai-nilai Yudeo-Kristen, yang dipandang oleh sebagian kalangan sebagai berbau kental nuansa kultur dan sosial barat dan karena itu bukan murni bernilai universal. Kehendak untuk tidak ditindas dan dikekang, keinginan untuk “bebas dari” rasa takut, jelas bernilai universal. Tetapi kebebasan dalam sistem demokrasi termasuk di dalamnya “bebas untuk” tak jarang bertentangan dengan budaya lokal, dan dapat dianggap sebagai ancaman pada kultur dan tatanan sosial yang ada.

Dengan demikian, proyek demokratisasi tampaknya menjadi tantangan pada esensi pluralisme umat manusia, kecuali apabila dibuat pemisahan jelas antara politik dan kultur, yang cukup problematik. Dalam dunia kontemporer, demokrasi sedang mendapat tempat sebagai bentuk pemerintahan ideal. Apabila ia terbukti fleksibel untuk beradaptasi, dan kultur setempat dapat menerima separonya saja, maksa aplikasinya dapat terus meningkat.

Apabila lebih banyak lagi negara yang terdemokratisasi tanpa serangan pada kedaulatan mereka, tidak seperti dalam kasus Irak, maka skenario terciptanya kesepakatan internasional semakin dimungkinkan. Ini bukan jaminan 100 persen menuju perdamaian, tetapi jelas dapat mengurangi potensi konflik.

Reportase

Reportase, Kegiatan Kader Kehutanan Papua, 5 – 10 Oktober 2011

Kampung Asai, Distrik Windesi, Kabupaten Yapen – Papua
Kepulauan Yapen, Oktober 2011. Apa yang dibayangkan jika masyarakat adat di Kepulauan Yapen, mau belajar berhitung menggunakan rumus analisis vegetasi? Belajar penjumlah, pembagian dan perkalian layaknya seorang anak sekolah? Apapula reaksi mereka ketika mengetahui ada kesalahan kubikasi (1 M3) dalam penjualan kayu merbau? Belajar apa itu koperasi? Bagaimana cara membuat peta partisipatif? Dan apa rahasia dibalik suksesnya penyelenggaraan Kegiatan Kader Kehutanan di Kabupaten Kepulauan Yapen?

Yups, itulah fenomen yang terjadi di Kampung Asai, salah satu wilayah di Distrik Windesi, Kabupaten Yapen - Papua. Selama beberapa hari Kampung Asai banyak dikunjungi oleh masyarakat dari beberapa wilayah, diantaranya Kampung Papuma, Kampung Windesi, dan Kampung Aisau. Sebanyak 33 orang berkumpul untuk belajar menjadi kader kehutanan. Belajar bersama bagaimana mengelola kawasan hutan sesuai dengan konsep pengeloaan hutan lestari berdasarkan kearifan lokal.

Bertempat di sekolah dasar, para peserta yang hadir mengikuti proses belajar layaknya anak sekolah pada umumnya. Pelajaran dimulai jam 9 pagi dan berakhir jam 4 sore, kemudian dilanjutkan jam 7 – 9 malam (tentative). Padatnya jadwal belajar dikarenakan banyaknya materi yang disampaikan, meskipun begitu tidak nampak keluh kesah dari seluruh peserta yang hadir.

 
Sebelum acara dimulai, kegiatan dimulai dengan pengenalan Telapak dan Samdhana sebagai lembaga yang memfasilitasi kegiatan tersebut. Kemudian menyampaikan maksud dan tujuan sekaligus ramah tamah untuk saling mengenai diantara peserta dan fasilitator. Secara keseluruhan kegiatan berlangsung selama 5 hari, dimulai pada hari rabu dan berakhir pada hari minggu sore.

Selama proses belajar, peserta diajarkan mengenai konsep koperasi sebagai unit bisnis dalam menjalankan tata kelola hutan. Pada materi ini masyarakat diajarkan apa itu koperasi dan bagaimana menjalankan roda organisasi tersebut, sekaligus membahas mengenai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), struktur kelembagaan dan pembahasan mengenai Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Koperasi. Hal ini penting karena koperasi merupakan suatu wadah dalam menjalankan bisnis organisasi untuk mendorong peningkatkan ekonomi di tingkat lokal sehingga tercapai kemandirian ekonomi.

Materi lain yang diajarkan bagaimana menghitung kubikasi menggunakan rumus analisis vegetasi, layaknya mahasiswa di fakultas kehutanan. Seperti mengitung rumus volume, V : ¼ x π x d2 x T x f (angka bentuk : 0,7) dan menghitung diameter pohon dengan rumus d : K / π (nilai π = 3,14). Rumus-rumus yang dipakai tak lazim mereka digunakan sebelumnya, bahkan mereka baru mengenal rumus tersebut. Alhasil, dalam proses penjualan kayu merbau mereka banyak dirugikan oleh para pembeli. Sebagai contoh, biasanya masyarakat di Kampung Asai menjual satu kubik kayu merbau sebanyak 50 batang untuk ukuran 10 cm x 10 cm x 3 m. Setelah dihitung menggunakan rumus ternyata hasilnya hanya 33 batang, sisa 15 batang tidak dihitung alias bonus. Banyangkan berapa besar kerugian yang mereka harus tanggung jika kuota dalam 1 bulan mencapai lebih dari 10 meter kubik? Dengan dasar inilah mereka akhirnya mau belajar dengan serius dan mengganti kebiasaan lama karena dianggap merugikan dan mengakhiri “tipu-tipu” oleh calon pembeli.

Selain itu mereka diperkenalkan bagaimana membuat peta partisipatif dengan menggunakan GPS (Global Positioning System) untuk memastikan wilayah kelola. Karena terbatasnya alat yang dibawa, serta mepetnya waktu belajar, praktek dalam pembuatan peta ini belum dilakukan. Hal terpenting yiatu mereka memahami apa itu pemetaan partisipatif, bagaimana tahapannya dan bagaimana membuatnya. Mengenai prakteknya mungkin akan dilakukan dilain waktu dan kesempatan.

Semua materi yang diajarkan dikemas secara sederhana dan praktis, sehingga memudahkan dalam pelaksanaan serta menambah pengalaman peserta dalam implementasi kegiatan. Selain konsep belajar yang sederhana, proses belajar banyak diselingi oleh permainan yang mereka biasa sebut “MOP”. Kegiatan inilah yang membuat suasana menjadi akrab dan cair serta menimbulkan semangat baru bagi para peserta yang sudah mulai pusing karena harus membaca, menghitung dan lain sebagainya. Selain MOP, kegiatan diselingi juga dengan pemutaran film sebagai hiburan sekaligus inpirasi bagi mereka. Tingginya minat belajar membawa dampak positif bagi peserta sebagai bekal awal dalam proses pelaksanaan pemberdayaan hutan bersama masyarakat atau Community Logging (Comlog) di wilayahnya masing-masing.

Dari hasil penilaian cepat (rapid assessment) disesi terakhir, menunjukan hasil yang luar biasa! Lebih dari 60% peserta menjawab mengerti dan cukup memahami semua materi yang sudah disampaikan oleh tim fasilitator. Dan hampir seluruh peserta merasa senang dan bahagia karena metode pembelajaran membuat mereka termotivasi untuk mau belajar. Mereka pun memiliki komitmen yang tinggi, karena dari awal sampai akhir kegiatan jumlah peserta tidak berkurang 1 orang pun.

 Ternyata hasil yang luar biasa tersebut, tidak hanya dihasilkan dari metode belajar yang efektif dan efisien melainkan ada rahasia sukses dibalik itu semua. Rahasia itu bernama “papeda”, makanan khas masyarakat papua yang terbuat dari sagu. Hampir setiap hari papeda disajikan pada siang hari untuk menambah supply energy dan semangat dalam belajar. Hal ini bukan gossip maupun isapan jempol semata, melainkan sebuah kenyataan yang berdampak positif untuk menunjang kegiatan belajar mengajar. Selain papeda, ibu-ibu di dapur dengan sigap menyajikan aneka masakan yang sehat dan bergizi serta pas di lidah semua orang untuk disantap secara bersama. Semua bahan baku makanan berasal dari potensi sumberdaya alam di sekitar Kampung Asai.

Selain materi yang disampaikan, peserta juga diberikan beberapa PR (tugas) diantaranya, 1) mengindetifikasi potensi dari masing-masing wilayah, kemudian mempresentasikannya kepada peserta yang lain. 2) membuat Rencana Tindak Lanjut (RTL). Penugasan yang diberikan merupakan tindak lanjut dari proses yang sudah diajarkan selama beberapa hari. Bentuk dari penugasan harus berhubungan dengan proses pembelajaran dan materi yang sudah diajarkan, dibuat berdasarkan kebutuhan dan kesepakatan bersama di masing-masing wilayah. Lamanya proses penugasan sekitar 3-4 bulan, dilaksanakan berdasarkan inisiatif, komitmen dan tanggung jawab bersama untuk mewujudkan cita-cita bersama, yaitu keadilan ekologi dan kemandirian ekonomi di tingkat lokal. Pada fase penugasan, proses monitoring dan evaluasi (monev) dilakukan secara bertahap dengan melibatkan peran para pihak seperti Dinas Kehutanan Kabupaten dan Provinsi sebagai “management authority” kawasan serta para pihak lainnya. Kegiatan berikutnya akan dilanjutkan setelah melihat hasil dari monev tersebut (SA).

 


Reportase

Reportase TV Terkontaminasi Porno. Anak-anak Jadi ‘Korban’

“Ayah…..  Masak ada orang berhubungan dengan Sapi, di Bali.. Sapinya kok bisa hamil, ya”? Tanya anak saya usia 10 tahun ke saya.
Mendengar pertanyaan itu, saya kira bukan saja bikin kaget, tapi rasanya sudah mau “pingsan”  rasanya.. Kok anak kecil tanya langsung mengaenai pornografi apa yang dilihat dengan begitu cepatnya, dari  acara sekilas info semacam reportase  di Televisi?
Anak-anak pada umumnya masih polos. Mau bertanya saja tidak pintar mengemas dalam bahasa yang halus apalagi diplomatis, Apa yang ada dalam benaknya, pokoknya tanya saja dulu, urusan pertanyaan itu pantas apa tidak atau dijawab apa tidak, itu soal belakang.
Saya  mencoba mengalihkan perhatiannya mengatakan, tidak ada kenyataan seperti itu. Berita itu hanya humor dan rumor, dan pemberi beritanya  suka guyon, jangan percaya..Tidak ada ., itu hanya berita iseng saja bikin orang supaya bingung.. Anak saya pun kembali melanjutkan bermain legonya.
Itu adalah salah satu contoh kasus anak-anak mendapat “hiasan” informasi yang tidak seharusnya masuk dalam otaknya  saat seperti usia dini dari lingkungan luar. Televisi yang kita anggap “Jendela Dunia” sah-sah saja menyiarkan berita dan siarannya, tapi kira-kira apakah pantas menyiarkan berita yang tidak bermutu?..
Saya tidak mengerti mengapa terlalu banyak TV kita sekarang tertarik kepada berita-berita yang bertendensi sedikit ngeres dan berbau porno?. Apakah sehaus itu kidahaga  porno pemirsa sehingga porno-porno yang tidak bermutupun harus disuguhi kepada pemirsa?
Pemirsa pada siang hari jelas mulai dari anak kecil hingga kakek dan nenek. Ketika sekilas info atau breaking news datang tiba-tiba dan orang belum sempat memindahkan saluran televisinya, suara pembaca berita dengan lantang dan tegas membaca berita-berita tersebut. Pemirsa pun langsung kemasukan “Setetes” air dalam ruang otak seluas samudra.
Apakah pertelevisian kita sekarang seolah-olah sudah seperti kehabisan idea dan daya tarik dengan memunculkan berita-beirta murahan?. Seolah-olah TV sekarang kita seperti tanpa jati diri lagi yang sebetulnya selalu menggema dalam logo masing-masing setiap berganti menu acara?. Kenapa bisa tidak terkendalikan?. Apakah produser atau penanggung jawab siaran tidak lagi berfungsi sebagai katalisator agar semua siaran bermuara pada filosofi dalam  misi serta visi stasiun televisi?
Kita kuatir, jangan-jangan itulah misi dan visi serta filosofi  stasiiun televisi tersebut. Kita kuatir juga, suatu saat angkot masuk got atau parit pun masuk siaran berita. Bebek dan Ayam kena serempet ojek pun nanti masuk berita. Artis yang sedang terkena flu, pilek,sakit kepala dan giginya senat senut pun jadi berita Reportase  atau Top News nya selera stasiun  TV tersebut… Wah, ” luar biasa ” stasiun TV tersebut.
Sejuta protespun tidak akan ada manfaatnya. Protes di Kompasiana ini pun mungkin tidak akan mereka perdulikan. Pertanda kualitas penyiaran dan penyiar pertelevisian kita sudah tidak dapat dikendalikan lagi, baik oleh penanggung jawab siaran apalagi oleh pewarta itu sendiri. Karena berita bukanlagi mengkuti alur filsofi melainkan karena selera pribadi pencari berita (pewarta).
Stasiun TV lain di Luar Negeri atau beberapa stasiun Nasional lain berlomba-lomba menghiasi alam pikiran dengan peristiwa penting, bermutu, berguna dan berkelas atau bercita rasa tinggi, televisi kita sekarang kok seperti ini.
Kita harapkan tidak ada lagi berita murahan seperti di atas.. Kalaupun tetap ada, biar saja, semoga pewartanya lekas “digebukin”  oleh pewarta lain yang lebih sopan dan berkelas dalam memilih mana berita yang pantas dan bermutu untuk disuguhin kepada masyarakat.